Surabaya (Dialektika Hukum) – Pakar hukum dari Fakultas Hukum Universitas Nasional (Unas), Assoc Prof Dr Sulistyowati SH MH mengatakan pelaksanaan peradilan elektronik/digital atau e-court memiliki plus-minus atau kelebihan-kekurangan berdasarkan perspektif hukum dan praktik peradilan.
“Peradilan elektronik itu ibarat pisau bermata dua yakni memiliki kelebihan dan kekurangan,” ujar Sulistyowati saat menjawab pertanyaan peserta pada Kuliah Umum Praktik Peradilan Pidana di Indonesia pada Fakultas Hukum Universitas Darussalam Ambon secara daring/zoom, Kamis.
Dia mengatakan kelebihan peradilan elektronik adalah efisiensi waktu dan biaya, aksesibiltas dan transparansi, efektivitas administrasi pengadilan, respons terhadap era digital dan mendukung asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan sesuai Undang-Undang Nomer 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Namun, kekurangan peradilan digital adalah kesenjangan digital, kerahasiaan dan keamanan data, keterbatasan interaksi langsung kemudian validitas dan autentikasi dokumen.
Pada kesempatan yang sama, Sulistyowati yang juga seorang pengacara ini menyarankan untuk tahap pembuktian sebaiknya tidak sepenuhnya dilakukan melalui peradilan elektronik.
Alasan tidak menggunakan peradilan elektronik karena hakim perlu mengamati langsung kredibilitas saksi, risiko manipulasi dan intervensi pihak lain, kesulitan menilai alat bukti fisik dan kendala teknis bisa merusak proses pembuktian.
Dia mengatakan peradilan elektronik adalah langkah maju dalam modernisasi sistem hukum Indonesia, namun penerapannya perlu disertai peningkatan infrastruktur digital, pelatihan bagi aparat dan perlindungan data yang ketat.
Pada kesempatan tersebut, dia juga memaparkan data jumlah kasus pidana umum di Indonesia pada 2024.
Total laporan atau kejadian tindak pidana menurut Polri pada 2024 mencapai 325.150 perkara.
Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) di Kejaksaan sebanyak 171.233 diterima 131.378 berkas, berkas lengkap 125.296 (P-21), perkara dilimpahkan tahap II 132.598, perkara diputus 95.874 dan perkara dieksekusi 99.105.
Dia juga membenarkan bahwa catur wangsa penegak hukum yang terdiri dari Kepolisian, Jaksa, peradilan dan advokat saat ini mengalami penurunan kepercayaan publik.
“Kondisi penegak hukum memang tidak baik-baik saja karena itu perlu reformasi kelembagaan dan integritas SDM, penguatan pengawasan eksternal serta pendidikan etika dan moral hukum,” katanya.
Dia juga menyambut baik praktik Restorative Justice (Keadilan Restoratif) dimana pendekatan penegakan hukum yang menitikberatkan pada pemulihan (restorasi) terhadap korban, pelaku, dan masyarakat —bukan pada pembalasan atau pemidanaan semata.
[Antara]




