Jakarta (Dialektika Hukum) – Pengamat hukum dan pembangunan nasional dari Universitas Airlangga Hardjuno Wiwoho mengatakan Kejaksaan Agung perlu segera memanggil pemilik dan pengurus perusahaan nasional maupun asing yang diperkaya dalam dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang.
Dia menegaskan pemeriksaan terhadap pemilik atau pengurus perusahaan tersebut merupakan langkah hukum yang wajib ditempuh agar pembuktian perkara tidak timpang.
“Kalau benar mereka diuntungkan, keterangan mereka sangat penting untuk menjelaskan bagaimana aliran dana dan kontrak bisnis itu berjalan,” kata Hardjuno dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu, dikutip dari Antara.
Menurutnya, tanpa menghadirkan pihak-pihak korporasi yang disebut dalam dakwaan kasus dugaan korupsi minyak mentah, hubungan kausal antara perbuatan pidana dan keuntungan ekonomi akan sulit dibuktikan secara utuh.
Selain itu, publik juga menanti penegakan hukum yang menyentuh semua lapisan, bukan hanya pejabat negara, melainkan juga pelaku bisnis yang menikmati hasilnya.
Hardjuno juga mengingatkan bahwa kasus tersebut memiliki keterkaitan struktural dengan praktik lama “mafia minyak” yang selama bertahun-tahun mengatur harga dan distribusi bahan bakar minyak (BBM).
Untuk itu, ia menyatakan penetapan pemilik manfaat PT Tanki Merak dan PT Orbit Terminal Merak Mohammad Riza Chalid sebagai tersangka kasus tersebut pada Juli 2025 oleh Kejagung, merupakan sinyal kuat bahwa negara mulai berani membongkar jejaring rente energi lama yang selama ini tertutup.
“Langkah Kejagung sudah tepat dengan menetapkan Riza Chalid sebagai tersangka,” katanya.
Kendati demikian, ia menekankan proses “bersih-bersih” tidak boleh berhenti di situ lantaran pemeriksaan terhadap korporasi yang diuntungkan harus dilakukan agar publik percaya penegakan hukum di sektor energi tidak tebang pilih.
Dengan begitu, sidang kasus korupsi minyak mentah menjadi momentum reformasi tata kelola energi nasional yang selama ini lemah dalam transparansi dan akuntabilitas.
“Kasus Rp285 triliun ini bukan sekadar perkara pidana, melainkan ujian moral dan kelembagaan. Negara harus hadir secara penuh untuk menutup ruang rente, kolusi, dan praktik main harga,” ucap Hardjuno.
Sebelumnya, Jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejagung Andi Setyawan mengungkapkan terdapat 18 korporasi yang diuntungkan dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada periode 2018-2023.
Pengungkapan tersebut disampaikan pada sidang pembacaan surat dakwaan bagi Vice President Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Tahun 2023–2024 Agus Purwono di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (13/10).
“Terdakwa Agus melakukan perbuatan secara melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara,” ujar JPU Andi Setyawan.
Sebanyak 18 perusahaan yang diuntungkan dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah tersebut, yakni PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), PT Pertamina EP Cepu (PEPC), Medco E&P Natuna Ltd, Petronas Carigali Ketapang II Ltd (PCK II), PT Pema Global Energi (PT PGE), Exxon Mobil Cepu Ltd (EMCL), serta Vitol Asia Pte Ltd.
Lalu, Socar Trading Singapore Ptd.Ltd, Shell International Eastern Trading Company, Glencore Singapore Pte.Ltd, ExxonMobil Asia Pacific Pte.Ltd, BP Singapore Pte.Ltd, Trafigura Asia Trading Pte.Ltd, Petron Singapore Trading Pte.Ltd, BB Energy (Asia) Pte.Ltd, Trafigura Pte.Ltd, Sahara Energy International Pte.Ltd, serta PT Jenggala Maritim Nusantara (JMN).
Dalam perkara tersebut selain Agus, terdapat pula pemilik manfaat PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Kerry Andrianto Riza, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping (PIS) Tahun 2022–2024 Yoki Firnandi, Komisaris PT Pelayaran Mahameru Kencana Abadi (PMKA) Gading Ramadhan Juedo, serta Komisaris PT JMN Dimas Werhaspati yang mendengarkan pembacaan surat dakwaan dalam sidang yang sama.
Kelima terdakwa diduga telah melakukan atau turut serta melakukan secara melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi, yang merugikan negara senilai Rp285,18 triliun.
Atas perbuatannya, kelima terdakwa disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
[Antara]




